FUJI YAMA
Aku berjalan keluar bandara. Mama sudah menyiapkan mobil dan supir untuk menjemputku. Tak terasa aku sudah menginjakkan kaki di negara ini. Jepang. Negara yang pernah menjajah Indonesia. Negara yang cukup kukagumi dan negara tempat mama tinggal.
Pemandangan di sini sangat berbeda dengan Indonesia. Jarang ada mobil dengan seenaknya lalu lalang. Kebanyakan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi. Ckckck, kekagumanku semakin bertambah. Pantas saja banyak orang Jepang yang sehat. Mereka selalu bersepeda. Berbeda denganku. Tubuhku sudah mulai rapuh. Padahal, umurku masih tujuh belas tahun. Ini gara-gara penyakit yang ada pada tubuhku. Penyakit yang cukup parah.
* * *
“Yuri, bangun!” suara Renata terdengar nyaring. Ada yang menepuk-nepuk pipiku dan entah mengapa badanku pegal sekali. Aku seperti tidur di atas dataran yang keras.
Kubuka mata perlahan-lahan. Kepalaku masih sakit. Pusing. Banyak anak yang mengelilingku. Bahkan, Renata menangis sambil berusaha mengajakku berdiri. Dan satu lagi yang membuatku bingung. Kenapa aku bisa disini? Perasaan, aku tadi masih ada di kelas.
Anak-anak membantuku berjalan menuju ke UKS. Mereka semua kelihatan bingung dan panic. Keadaan ini membuatku bingung. Aku tak tahu apa yang terjadi. Yang aku tahu, tiba-tiba saja aku terbangun dan mendapati diriku baru saja tertidur di teras kelas. Ada apa ini ?
“Ada apa sih ?” tanyaku pada Renata sesampainya di UKS.
“Ya ampun Yuri. Kamu baru saja pingsan di depan kelas. Kamu kenapa sih? Anak-anak pada panic semua. Kamu bikin aku nangis. Aku kira kamu udah nggak ada” jawabnya panjang lebar. Aku tersenyum malu. Ternyata aku pingsan.
“Nggak ada? Maksudmu?” tanyaku lagi. Pertanyaan Renata membuatku bingung. Jangan-jangan dia mengira kalau aku sudah meninggal.
“Iya. Aku kira kamu udah meninggal. Maaf ya!. Hehehe, soalnya kamu tadi pingsannya kayak orang mati” jawabnya. Dasar anak ini. Selalu mengira yang tidak-tidak. Kebiasaan. Khayalannya tinggi sekali.
Semua ini meninggalkan tanda tanya yang besar. Rasa heran dan bingung begitu besar dalam diriku. Rasanya, aku harus segera ke dokter atau ke rumah sakit. Aku harus mencari tahu penyebab semua kejadian ini. Kejadian ini aneh sekali.
Kulangkahkan kakiku keluar sekolah. Hari ini hasil laboratorium keluar. Aku, Renata, Rizuki dan Fira langsung menuju ke rumah sakit. Tak sabar rasanya untuk melihat hasil lab itu. Semoga semuanya baik-baik saja.
“Ayo berangkat!” ajakku. Rizuki dan Fira mengangguk dan langsung masuk ke mobil. Setelah merek berdua masuk, Renata langsung bergegas menuju ke rumah sakit.
“Gimana Riz?” tanya Fira pada Rizuki. Rizuki tersenyum senang. Dia menunjukkan hasil pemeriksaannya pada Fira. Sepertinya dia baik-baik saja. Tidak sepertiku.
“Yuri, gimana hasilnya? Kamu sehat kan? Trus kenapa kamu sering pingsan sama sakit kepala akhir-akhir ini?” tanya Renata. Aku hanya tersenyum kecut. Hasil lab ini tak memuaskan. Disini dijelaskan aku terkena suatu penyakit yang berbahaya. Kanker. Kanker otak lebih tepatnya.
“Gimana?” tanya Renata lagi. Dia langsung mengambil hasil labku dan membacanya. Sementara aku hanya bisa terdiam. Membisu. Aku masih kaget dengan semua ini. Heran sekaligus tak percaya. Apakah aku benar-benar terkena penyakit yang berbahaya ini ? aku tak tau pasti.
Renata, Rizuki dan Fira langsung memelukku. Tak terasa air mataku menetes dengan deras. Tak percaya. Aku tak percaya dengan ini. Tuhan, berilah hambamu ini kesabaran untuk menerima semua cobaan yang Engkau berikan. Berikan hamba-mu ini kekuatan untuk menjalani semua ini.
Hatiku seakan tegores luka yang sangat amat dalam. Renata, Rizuki dan Fira mencoba menghiburku. Mereka memang sahabat-sahabat terbaikku. Aku mulai bisa untuk menerima semua ini dengan rasa persahabatan mereka. Tapi ada satu yang kukhawatirkan. Sepertinya dalam waktu dekat ini, aku harus meninggalkan mereka. Mama menyuruhku untuk kembali ke Jepang. Dia ingin aku berobat disana sampai aku sembuh. Walau aku tahu, aku tak mungkin bisa sembuh. Sedangkan papa, mungkin papa hanya bisa mendoakanku dari surga.
* * *
Hm, bosan sekali disini. Hanya bisa tidur, nonton TV dan kegiatan lain yang membosankan. Aku ingin keluar dari ruangan ini.
“konnichi wa. o-genki desu ka?” tanya suster sambil membuka jendela kamarku.
“arigatoo totemo genki desu” jawabku datar.
Suster itu memeriksa tubuhku. Dia tersenyum kepadaku. Itu pertanda bahwa aku baik-baik saja.
Ada yang mengetuk pintu kamarku. Suster langsung mempersilahkan masuk orang itu. Aku tak pernah mengenal orang itu. Sepertinya, dia orang suruhan Mama. Siapa lagi ini? Kenapa tidak mama yang menengokku?
“Apa kabar nona Yuri?” tanya orang itu. Aku tersenyum.
“Mana mama?” tanyaku kemudian.
“Maaf. Mama anda sedang sibuk. Dia menitipkan ini pada anda” jawab orang itu sambil menyerahkan sebuah kado kepadaku. Kemudian dia keluar dan meninggalkanku sendiri.
Aku membuka kado dari mama. Indah sekali kado ini. Mama pasti menyiapkan kado yang istimewa untuk hari ini. Kemarin ia mengirimku makanan kesukaanku dari Indonesia. Sekarang apa lagi ya ? tapi aku tetap mengharapkan mama sendiri yang merawat dan menengokku. Bukan suster atau orang suruhan mama.
Mama memberiku boneka panda. Lucu sekali. Aku belum pernah mendapatkan boneka selucu ini. Pasti mahal harganya. Di Indonesia, mama tidak pernah memberiku kado seperti ini. Dia hanya memberiku kiriman uang.
Bosan. Rasa itu kembali muncul. Aku ingin keluar sebentar. Hidungku sudah gatal untuk menghirup udara luar. Tapi, aku tak tau caranya. Aha, aku ada ide. Menghubungi mama.
“halo ma!” sapaku lewat telepon.
“iya sayang. Maaf ya, mama masih sibuk. Mama cuma punya waktu sebentar”
“Nggak pa-pa ma. Aku boleh keluar dari kamar nggak ?” tanyaku pada mama.
“Boleh. Kamu bilang sama suster aja ya. Nanti mama suruh suster ke kamarmu. Tenang aja, dia bisa ngomong bahasa Indonesia kok! Sudah ya yang. Mama harus kerja dulu. Baik-baik ya!” jawabnya dan sambungan terputus. Mama pasti sedang meeting dengan cliennya. Sibuk sekali mamaku ini. Sampai-sampai dihubungi anaknya harus dibatasi waktunya.
“konnichi wa” sapa suster. Dia membawakanku kursi roda.
“harus pakai kursi roda?” tanyaku padanya. Aku tidak suka memakai kursi roda. Aku tidak ingin dianggap seperti orang yang sakit.
“iie. Terserah nona Tsuki” jawabnya. Huft, untunglah. Lega sekali rasanya.
Kucoba turun dari tempat tidur dan kulangkahkan kakiku perlahan-lahan. Leganya. Akhirnya aku bisa keluar ruangan ini dan menghirup udara segar.
Kulangkahkan kakiku menuju ke taman rumah sakit. Taman rumah sakit ini terkenal dengan indahnya. Apalagi saat bunga sakura mekar. Bunga sakura yang ada di sini akan bermekaran dan jatuh berguguran. Indah sekali. Bunga sakura mengingatkan masa kecilku. Saat papa masih hidup. Aku, mama dan papa sering sekali piknik dibawah poho sakura seperti ini. Sedangkan sekarang, papa sudah meninggal. Mama harus bekerja keras untuk mengurusi semua perusahaan papa.
Aku duduk dibawah pohon. Pemandangan disini indah sekali.
“yoi o-tenki desu ne” ada seseorang di sampingku. Seorang anak laki-laki yang mungkin seumuran denganku. Sepertinya dia lebih dulu duduk dibawah pohon ini.
“Hai” sapaku padanya. Dia tertawa. Heran. Sepertinya aku salah bicara
“sumimasen. Watashi wa sukhosi shika eigo wo hanasemasen” kata anak laki-laki ini kemudian. Bingung. Aku tak tahu artinya.
“namae wa hoshi desu” dia memperkenalkan dirinya padaku. Namanya hoshi alias bintang dalam bahasa Indonesia. Nama yang bagus untuk seorang anak laki-laki.
“namae wa yuri desu” aku memperkenalkan diri padanya. Kita berdua berkenalan.
“Nggak udah pakai bahasa Jepang ya! Lama-lama aku bingung!” katanya kemudian. Hem, ternyata dia juga orang Indonesia. Pantas saja logat bicaranya berbeda dengan orang Jepang pada umumnya. Untunglah, aku mempunyai teman disini. Teman yang sama-sama tidak bisa berbahasa jepang dengan fasih.
“Kamu bisa panggil aku bintang” lanjutnya kemudian. Aku mengangguk tanda mengerti. Tak lama kemudian, aku sudah berbincang asyik dengannya.
Bintang. Ternyata dia orangnya asyik diajak berbicara. Walaupun dia dua tahun lebih tua dariku, tapi dia bisa mengerti semua yang kuceritakan. Dia pengertian sekali. Sepertinya, aku pernah bertemu dengannya. Tak tahu kapan dan dimana. Aku merasa sudah lama dekat dengannya. Aku rasa, aku pernah berteman dengannya sejak lama.
Bintang. Hoshi. Nama yang indah. Oh ya, sesuai dengan perjanjian, aku harus memanggilnya mas. Mas Bintang. Hehehe, memakai bahasa jawa. Ternyata dia juga orang jawa. Sama halnya denganku. Tak apalah para suster disini sering tidak mengerti bahasa yang kugunakan, yang penting ada seseorang yang bisa kuajak bicara panjang lebar. dan dia juga mengerti apa yang kubicarakan.
Tak terasa sudah tiga bulan aku berada disini. Keadaanku mulai membaik walaupun mama baru satu kali menjengukku disini. Itu pun dengan pengawalan yang ketat. Selain itu, aku hanya bertemu mama tidak lebih dari dua jam. Huft, mama benar-benar orang yang super sibuk.
Selama sebulan ini, ada yang membuatku merasa senang. Mas Bintang. Aku baru tahu, ternyata dia teman masa kecilku. Saat aku tinggal di Jepang, aku pernah bertetangga dengannya. Aku sering bermain bersamanya. Seru sekali. Ternyata dunia ini begitu dekat. Aku dan dia yang sudah sepuluh tahun tidak bertemu akhirnya bisa bertemu.
Aku dan Mas Bintang semakin dekat. Kita berdua memiliki pemikiran yang hampir sama. Dia sering mengajakku kabur dari rumah sakit. Aku dan dia sering melihat pemandangan gunung fuji bersama-sama. Membeli tempura di pinggir jalan. Bercanda. Yah, pokoknya hal-hal yang membuatku lupa akan rasa sakit. Hal-hal yang membuatku bahagia.
Kepalaku mulai sakit. Dari tadi pagi, kepalaku sudah sakit. Mungkin gara-gara kecapaian. Kemarin aku kabur dari rumah sakit. Aku dan Mas Bintang pergi ke taman berdua. Kita melihat pemandangan gunung fuji yang sangat indah. Gunung fuji dengan warna biru kedamaian yang membuatku tenang.
“konban wa” sapa seseorang dari balik pintu. Mas Bintang.
“masuk mas. O-kake kudasai” aku menyuruhnya duduk. Dia duduk di samping ranjangku.
“Nih, nasi goreng kesukaanmu” kata Mas Bintang. Dia menyerahkan bungkusan berisi nasi goreng dengan rasa Indonesia yang khas kepadaku. Wah, enak sekali. Aku sudah rindu dengan nasi goring Indonesia. Nasi goring yang ada di Jepang rasanya berbeda dengan yang di Indonesia. Di Indonesia, nasi gorengnya lebih terasa udangnya.
Mas Bintang sedikit berbeda hari ini. Wajahnya pucat. Sepertinya dia sedang sakit. Tak terasa, tubuhnya semakin kurus dari hari ke hari. Tapi dari sikapnya dia seperti orang yang sehat.
Aku dan Mas Bintang langsung melahap nasi goreng itu bersama-sama. Enak sekali rasanya. Rasa rinduku dengan masakan Indonesia mulai terobati. Mas Bintang juga merasakan hal yang sama denganku.
“Besok ke taman biasanya ya! Aku ingin berbicara sesuatu” ajaknya. Aku mengangguk setuju. Dia tersenyum dan mencium keningku. Sekarang sudah waktunya tidur.
“o-yasumi” katanya sambil pergi meninggalkanku. Mataku terpejam dan akhirnya melayang bersama alam mimpi. Mimpi yang indah. Mimpi saat-saat aku bersama Mas Bintang.
Hari ini aku bersiap-siap ke taman. Jam delapan tepat, Mas Bintang akan menjemputku. Aku tidak ingin terlihat berantakan di depannya. Tak tau mengapa, aku merasa kalau hari ini adalah hari yang istimewa. Sangat istimewa. Padahal aku tidak tahu moment sepesial apa yang kan terjadi hari ini.
“siap?” tanya Mas Bintang. Kuanggukkan kepalaku setuju. Dia membantuku turun dari ranjang seperti biasanya. Dan kita berdua mengendap-endap keluar dari rumah sakit ini. Kita tidak ingin terlibat masalah dengan suster disini. Jika melapor ke suster, maka kita akan diawasi selama perjalanan. Bahkan sampai di taman. Suster tidak ingin terjadi sesuatu berbahaya kepada aku dan dia.
Tak sampai lima belas menit, aku sudah sampai di taman. Hari ini indah sekali. Sakura bermekaran dan berguguran. Suasana yang sangat menenangkan jiwa. Romantis sekali. Seperti di film-film.
Aku dan Mas Bintang duduk di bawah pohon sakura. Tanganku masih menggenggam erat tangannya. Damai sekali. Aku merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di diriku sekarang sudah ada. Jiwaku yang dulu kosong seakan sudah terpenuhi.
“Yur, aku ingin ngomong sesuatu” kata Mas Bintang membuaka pembicaraan.
“Apa?” tanyaku kemudian. Senyumku terkembang. Aku merasa sangat bahagia sekali hari ini.
“I love you” ucapnya. Degh. Seakan jantungku berhenti berdetak. Kaget. Tak tahu kenapa aku mengangguk dan membalas ucapannya. Seakan jiwaku terbawa oleh kata-kata yang diucapkannya. Tak kupungkiri, aku juga cinta dengannya. rasa itu sudah lama ada. Sejak pertama bertemu dengannya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Tapi rasa itu tak kusadari dan akhirnya rasa itu juga yang menjawab semuanya.
“gunung fuji ini indah sekali. Bunga sakura juga sedang mekar. Bagus banget” kataku memecah suasana yang ada. Dia mengangguk setuju. Rasanya, aku tidak ingin hari ini berakhir. Aku ingin terus berada pada suasana seperti ini.
“tapi, walaupun aku nggak ada. Kamu tetep cinta sama aku?” tanya Mas Bintang. Aku mengangguk. Tapi aku yakin. Dia tidak akan meninggalkanku dan akan selalu bersamaku. Di hatiku selalu ada dia.
“Uhuk,uhuk” Mas Bintang batuk. Sejak tadi pagi, dia sudah batuk. Dia jujur dan berkata bahwa dia sedang sakit. Badannya sedang tidak enak. Wajahnya juga pucat. Hari ini dia tidak seperti biasanya. Bajunya lebih rapi. Sikapnya lebih dewasa dari biasanya.
Aku merasakan sesuatu yang berbeda. Mas Bintang mulai lemas. Badannya seakan tak berdaya. Khawatir dan akhirnya dia memejamkan matanya.
“Mas bintang. Bangun!” perintahku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tak ada respon. Bingung. aku harus cari ambulan.
“kyuukyuusha wo yonde kudasai” perintahku pada orang-orang yang ada disekitarku. Tak laam kemudian, ambulan dating dan aku merasakan badanku mulai lemas. Kepalaku pusing dan tiba-tiba mataku terpejam. Gelap.
* * *
“Yuri. Kamu sudah bangun sayang?” tanya mama. Mama ada di samping ranjangku. Dia mengelus-elus rambutku.
“Ada apa ma?” tanyaku. Mama menangis.
“kamu kemarin pingsan di taman. Kamu dari mana aja?” tanyanya kembali. Aku tersenyum. Rencana kaburku kemarin ketahuan.
“Taman ma” jawabku singkat. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang janggal. Mas Bintang. Aku tak tahu keadaannya.
Mas Bintang kritis. Sekarang dia ada di ruang ICU. Tubuhnya lemas. Tak kusangka, ternyata ia juga sama sepertiku. Dia juga sakit. Selama ini dia yang memberiku semangat untuk hidup. Harusnya, dia memberi semangat pada dirinya sendiri. Ternyata dirinya sendiri yang tak mampu bertahan sehingga bisa kritis seperti ini.
Kulihat dokter dan suster memasuki ruang ICU. Dia menuju ke Mas Bintang. Mereka semua mulai melepaskan alat bantu yang terpasang pada tubuh Mas Bintang. Ada sesuatu yang janggal. Aku takut terjadi sesuatu padanya. Aku belum siap untuk meninggalkannya.
Dokter itu keluar dari ruangan Mas Bintang dan langsung memelukku. Ternyata dokter itu adalah dokter pribadiku yang ada di rumah sakit ini. Dia mengetahui jika aku dekat dengan Mas Bintang. Mataku basah. Aku mengerti apa arti semua ini. Air mataku jatuh satu persatu. Mas Bintang sudah pergi. Pergi jauh untuk selama-lamanya.
Mama datang dan memelukku. Dia mengajakku kembali ke kamar. Besok, aku akan pergi ke taman biasanya. Upacara pemakaman Mas Bintang akan diadakan besok. Tempatnya di taman tempatku dan dia sering bercerita. Selamat tinggal Mas Bintang. aku yakin, kita akan bertemu lagi di surga.
Hari ini, aku pergi ke taman biasanya. Aku pergi ditemani mama dan para pengawalnya. Aku bersyukur. Akhirnya mama punya waktu luang untuk menemaniku. Walaupun dia hanya mempunyai waktu dua hari bersamaku. Tapi itu sudah cukup bagiku. Aku tahu, dia melakukan semua ini untuk kebahagiaanku. Bahkan, mama rela bekerja siang malam hanya untukku.
Gaun hitam pemberian Mas Bintang kegenakan. Gaun ini gaun sepesial rancangan Mas Bintang. Dia sendiri yang memesankan gaun ini untukku. Katanya, aku harus memakainya suatu saat.
Aku dan mama sudah berada di taman. Air mataku terus menetes. Seakan takkan pernah habis untuk mengiringi kepergiannya. Kepergian Mas Bintang dari hadapanku. Kepergian cinta pertamaku.
Mama memelukku. Air matanya juga ikut menetes bersama dengan air mataku. Hatiku mulai tak kuat. Bunga sakura dan gunung fuji yang terlihat dari sini seakan ikut bersedih denganku. Gunung fuji dan bunga sakura ini adalah saksi perjalananku dengannya. Termasuk saat-saat seperti ini. Saat aku lelah dalam menopang hidup. Pergi bersama Mas Bintang. Melayang jauh dan semakin jauh. Dan tubuhku pun mulai jatuh. Rapuh. Menyusul jejak Mas Bintang bersama keindahan gunung fuji. Keindahan gunung fuji yang menyimpan sejuta memori tak terlupakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar